Alhamduillaahilqaa-il Fiimuhkamikitaabihi al-Kariim wattaquu Fitnatan Laatushiibannaalladziina dzalamuu minkum khashshatan, Washshalaatu wassalaamu 'Alaa Asyrafil anbiyaa-I wal Mursaliinal-qaa-il fii hadiitsihisysyarIf (Idzaadzahara az-Zinaa war Ribaa fii qaryatin faqad ahalluu Bianfusihim 'Adzaaballaahi) Wa'alaa aalihi washahbihi wamantabi'ahu bi-ihsaanin ilaa yaumiddiini, Ammaa Ba'du:
Sebagai agama yang ajarannya penuh rahmat bagi penghuni dunia ini (rahmatan lil-'alamiin), Islam telah memberikan tuntunan-tuntunan bagi pemeluknya. Ajaran Islam sarat dengan tuntunan untuk merawat dan memperlakukan orang yang sakit dengan baik. 'Iyadah al-maridh yang sangat digalakkan oleh Islam sebenarnya tidak hanya berarti menengok orang sakit, sebagaimana yang dipahami selama ini, melainkan juga berarti merawat dan mengobati orang yang sakit.
Orang yang sakit, apapun sebabnya harus tetap mendapatkan tempat khusus dalam masyarakat muslim. Dalam sebuah Hadis Qudsi Allah SWT mengatakan; "Wahai hamba-Ku, Aku ini "sakit" tapi kau tidak mau menjenguk dan merawat-Ku. Hamba menjawab, "Bagaimana aku dapat menjenguk dan merawat-Mu sedangkan Engkau adalah Rabbul'Alamin". Allah menjawb: "Seorang hamba-Ku sakit, apabila kamu menjenguk dan merawatnya tentu kamu akan menjumpai-Ku di sana."
Dalam hadis ini Allah SWT telah menempatkan kedudukan orang-orang yang sakit seolah-olah Allah Ta'ala sendiri yang sakit. Ini artinya manusia dituntut agar selalu memperhatikan orang-orang yang sakit dengan memberikan bantuan baik moriil maupun materiil, sehingga mereka tidak terkucil, khususnya secara moral dari masyarakat. Sementara itu, ajaran Islam juga sarat dengan tuntunan untuk menghindari hal-hal yang membahayakan, apalagi penyakit yang berpotensi untuk menular. Nabi Muhammad SAW menegaskan:
"Laadharara walaa dhiraar."
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan orang lain."
Dari hadis ini kemudian timbul kaidah fiqih:
"Adhdhararu yuzaalu." "Bahaya itu harus dihilangkan."
"Bahaya itu harus dihilangkan".
Bahkan sekiranya ada dua faktor tarik menarik antara bahaya (kerugian) dan kepentingan (keuntungan), maka yang diprioritaskan adalah menghilangkan bahaya. Kaidah fiqih menuturkan.
"Menghindari kerusakan-kerusakan itu harus didahulukan dari mencari keuntungan - keuntungan".
Karenanya, tanpa harus mengurangi perlakuan yang baik kepada orang yang sakit, Islam mengajarkan agar kita mewaspadai, dan menghindari kemungkinan penularan penyakit dari orang yang sakit tersebut.
Penyakit HIV/AIDS di mana sekitar 80% - 90% dari penyebabnya adalah berzina, merupakan penyakit yang sangat berbahaya, khususnya bagi orang-orang yang tidak memiliki akhlak yang terpuji. Penyakit ini merupakan musibah yang dapat menimpa siapa saja termasuk orang-orang yang berakhlakul karimah. Orang yang terkena musibah belum tentu akibat daosa yang diperbuatnya, tetapi boleh jadi merupakan korban perbuatan orang lain.
Apabila sekitar 80%-90% dari penyebabnya adalah perbuatan zina, maka upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS yang paling efektif adalah menghilangkan penyebabanya itu sendiri yaitu perbuatan zina. Seperti tersebut diatas, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa : "Apabila zina dan riba sudah menjadi perbuatan umum dalam suatu negeri, maka hal itu berarti penduduk negeri itu telah menghalalkan (mengundngn)azab Allah ". Karenanya prinsip "menjaga lebih baik daripada mengobati" juga berarti menghilangkan sebab lebih baik daripada mengobati penyakit yang diakibatkan oleh sebeb tersebut.
Anjuran Islam untuk memperhatikan dan memperlakukan dengan baik kepada orang-orang yang sakit itu juga termasuk orang-orang yang sakit terkena virus HIV/AIDS. Namun tentunya jangan sampai perlakuan yang baik itu justru akan mengorbankan orang lain yang tidak terkena HIV/AIDS menjadi terkena HIV/AIDS. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. Kaidah Fiqh menyebutkan :
"Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain".
Karenanya, diperlukan upaya-upaya yang sangat bijaksana agar para penderita HIV/AIDSitu dapat dirawat, diobati dan diperlakukan secara manusiawi tetapi tidak mengorbankan pihak lain sehingga menjadi HIV/AIDS yang baru. Kebijaksanaan ini akan lebih diperlukan karena sebagai manusia, penderita HIV/AIDS akan selalu berhubungan dengan orang lain misalnya, ketika menginjak dewasa ia perlu menikah, ketika ia meninggal dunia perlu mendapat perawatan jenazahnya dan lain sebagainya.
MASALAH-MASALAH YANG BERKAITAN DENGAN PENDERITA HIV/AIDS:
I. Sikap Islam terhadap HIV/AIDS
HIV/AIDS adalah penyakit menular yang sangat berbahaya dimana ia telah mengancam eksistensi manusia di dunia dan dapat menimpa siapa saja tanpa memandang jenis umur dan profesi. Karenanya, HIV/AIDS dinilai sebagai al-dharat al-amm (bahaya global).
II. Eutanasia
Eutanasia tidak dibenarkan atas penderita AIDS, baik eutanasia pasif maupun aktif. Sebagai dalil-dalilnya adalah :
Hidup dan mati adalah ditangan Tuhan.
Firman Allah SWT :
" (Allah ) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya" (Al-Mulk :2)
Islam melarang bunuh diri dan membunuh orang lain kecuali dengan hak
Firman Allah :
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar" (Al-Ann'am : 151).
Islam memerintahkan untuk berobat dan melarang putus asa.
Sabda Rasulullah SAW :
"Hai hamba-hamba Allah ! berobatlah ! sesungguhnya Allah SWT tidak menciptakan penyakit, kecuali diciptakannya pula obat penyembuhnya, kecuali lanjut usia"
Islam memerintahkan untuk sabar dan tawakkal menghadapi musibah.
Firman Allah SWT:
"Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termsuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)". (Luqman:17)
Islam memerintahkan banyak istighfar dan berdo'a
Firman Allah SWT:
"Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri (seperti zina, riba) mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah ? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahuinya". ( Ali Imran:135).
Memakai dalil maslahat untuk membenarkan eutanasia tidak tepat, karena diantara syarat penggunaan maslahat itu sebagai dalil Syar'I tidak boleh bertentangan dengan nash.
Penggunaan qiyas yakni mengqiyaskan penderita HIV/AIDS dengan wanita hamil yang kandungannya membahayakan jiwa calon ibu karena sama daruratnya, adalah tidak tepat, karena bagi penderita HIV/AIDS belum memenuhi keadaan darurat untuk tindakan eutanasia
.
III. Menularkan HIV/AIDS
Menularkan HIV/AIDS hukumnya haram. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW :
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan orang lain"
IV. Perkawinan penderita HIV/AIDS
Perkawinan antara seorang yang menderita HIV/AIDS dengan rang yang tidak menderita HIV/AIDS :
Apabila HIV/AIDS itu dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan (maradh daim), maka hukum.,
Tersebut dalam Kifayah Al-Akhyar III halaman 38 Sbb :
"Keadaan kedua yaitu laki-laki yang mempunyai biaya perkwinan, namun ia tidak perlu nikah, baik kerena tidak mampunya melakukan hubungan seksual sebab kemaluannya putus atau impoten maupun karena sakit kronis dan lain sebagainya. Laki - laki seperti ini juga makruh menikah".
tersebut dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, VII, halaman 32 :
"Menurut mazhab Syafi'I , orang yang sakit seperti lanjut usia atau sakit kronis atau impoten yang tidak sembuh atau hilang zakar dan buahnya sehingga tidak mempunyai nafsu birahi lagi, makruh menikah".
Apabila HIV/AIDS itu selain dianggap sebagai penyakit yang sulit disembuhkan (maradh daim), juga diyakini membahayakan orang lain (tayaqqun al-idhrar), maka hukumnya haram.
Tersebut dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adilatuhu, VII halaman 83:
"Apabila laki-laki yang akan kawin yakin bahwa perkawinannya akan menzalimi dan menimpakan kemudharatan atas perempuan yang akan dikawininya, maka hukum perkawinannya itu adalah haram".
Sabda Rasulullah :
"Adapun laki-laki yang tidak mempunyai kemampuan pada segi biaya pernikahan dan kewajiban-kewajibannya, hendaklah puasa, karena puasa dapat memutus keinginannya kepada menikah".
Perkawinan antara dua orang (laki-laki dan wanita) yang sama-sama menderita HIV/AIDS hukumnya boleh.
V. Fasah Perkawinan Karena HIV/AIDS
Penyakit HIV/AIDS dapat dijadikan alasan untuk menuntuk perceraian, apabila salah satu dari suami-isteri menderita penyakit :
Tersebut dalam al-majmu' XVI halaman 265-266 :
" Apabila suami mendapatkan isternya gila atau menderita penyakit kusta (lepra) atau baros atau rutqa' (kemaluannya tertutup) atau qarna' (pada kemaluannya terdapat daging) sehingga mencegah persetubuhan, maka ia (pihak suami) mempunyai hak memilih fasakh".
Undang-undang No. 1 tahun 1974, pasal 39 bagian penjelasan
PP No. 9 tahun 1975 pasal 19
Kompilasi Hukum Islam.
Melanjutkan Perkawinan Bagi Pasangan Suami - Isteri Penderita HIV/AIDS
Apabila pasangan suami-isteri atau salah satunya menderita HIV/AIDS, maka mereka boleh bersepakat untuk meneruskan perkawinan mereka dalilnya adalah Hadis Nabi SAW :
Sebagai dasar adalah sebagai berikut :
"Orang - orang islam terikat denga perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal".
Memakai Alat Pencegah Penularan HIV/AIDS Dalam Hubngan Seksual
Suami atau isteri yang menderita HIV/AIDS dalam melakukan hubungan seksual wajib menggunakan alat, obat atau metode yang dapat mencegah penularan HIV/AIDS.
Sabda Rasulullah SAW :
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan orang lain".
Disamping itu suami atau isteri yang menderita HIV/AIDS seyogyanya berusaha untuk tidak memperoleh keturunan.
VIII. Pengguguran Janin Bagi Ibu yang Menderita HIV/AIDS
Apabila seorang Ibu menderita HIV/AIDS hamil maka ia tidak boleh menggurkan kandungannya. Dalilnya ialah firman Allah SWT :
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan"
(Al Israa' 31).
IX. Wanita Penderita HIV/AIDS yang Hamil karena Berzina
Wanita penderita HIV/AIDS yang hamil karena berzina perlu dirawat dengan baik dalam rangka menyadarkan dirinya untuk bertobat.
"Dan sungguh kami telah memuliakan anak cucu adam". (Al Israa' :70)
Hadis tentang wanita al-Ghamidiyah yang hamil karena berzina dimana Nabi SAW menyuruh walinya untuk berbuat baik kepadanya.
" Seorang perempuan dari Juhainah menghadap Nabi SAW dan mengaku telah berzina. Ia mengatakan :" Saya sedang hamil". Rasulullah SAW memanggil walinya dan mengatakan kepada walinya : "Perlakukanlah perempuan ini dengan sebaik-baiknya. Setela ia melahirkan bayinya kelak, maka bawalah ia kembali kepada saya". (R.Muslim).
Wanita Hamil yang Menderita HIV/AIDS Akibat Suntikan Obat-Obatan terlarang.
Wanita hamil yang menderita HIV/AIDS akibat Suntikan Obat-obatan Terlarang yang tercemar HIV/AIDS diperlakukan secara manusiawi, akan tetapi harus disadarkan atas perbuatan dosa-dosanya dan dibimbing untuk bertaubat. Sebagai dalil adalah dalil yang terdapat dalam masalah nomor IX.
XI. Penderita HIV/AIDS Yang Tinggal di Tengah Keluarga
Dianjurkan kepada keluarga di mana anggotanya menderita HIV/AIDS untuk merawatnya di tengah keluarga, dan perlu diadakan penyuluhan secara medis kepda mereka agar dapat mereawat dan dapat menghindar dari penularan. Dalilnya adalah Sabda Rasulullah SAW :
"Kasih sayanglah kepada rang-orang yang diatas bumi, maka yang ada dilangint akan kasih sayang kepada kamu".
XII. Perawatan Wanita Hamil Penderita HIV/AIDS ketika melahirkan.
Dianjurkan agar proses kelahiran bayinya ditangani oleh tim medis/paramidas yang terlatih untuk menghindari kemungkinan penularan.
Dalilnya adalah hadis :
"Allah membantu hamba-Nya selama hamba-Nya membantu saudaranya".
XIII. Khitan bagi Anak Penderita HIV/AIDS
Anak yang menderita HIV/AIDS tetap wajib di khitan, sepanjang hal itu tidak membahayakan dirinya, dan proses khitannya seyogyanya dilakukan oleh tim medis/paramedis yang terlatih untuk menghindari penularan.
XIV. Menolong Penderita HIV/AIDS yang Mengalami Kecelakaan.
Penderita HIV/AIDS yang mengalami kecelekaan , misalnya ditabarak mobil di jalan raya, tetap wajib ditolong dan dengan tetap mewaspadai kemungkinan adanya penularan denga menggunakan alat pencegahnya.
XV. Pengurusan Jenzah Penderita HIV/AIDS
Penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia wajib diurus sebagaimana layaknya jenazah (dimandikan, dikafani, disholati dan dikuburkan). Cara memandikannya hendaknya mengikuti petunjuk Departemen Kesehatan tentang pengurusan jenazah tidak dapat dimandikan seperti termaktub dalam petunjuk Departemen Kesehatan, mayat tersebut tetap dimandikan sedapat mungkin dengan cara menyemprotkan air.
CATATAN REKOMENDASI
Mengamanatkan kepada MUI agar memperjuangkan lahirnya undang-undang anti perzinahan dan homoseksual yang seusai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
Mengamanatkan kepada MUI agar membuat buku panduan tentang tuntutan Syari'at Islam tehadap penderita HIV/AIDS yang lengkap dan mudah dipahami dengan merujuk hasil mudzakarah hari ini.
Jakarta, 24 Juni 1997
Tim Perumus Komisi A. Muzakarah,
1. K.H. Ma'ruf Amin (Ketua)
2. Prof. Drs. KH. Jamaan Nur (Anggota)
3. Prof. Drs. KH. Masjfuk Zuhdi (Anggota)
4. Dr. H.M. Anwar Ibrahim (Anggota)
5. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA (Sekretaris)
Selasa, 10 Januari 2012
TUNTUNAN SYARI'AT ISLAM DLAM BERSIKAP, BERGAUL DAN MERAWAT PENDERITA AIDS
Sumber : http://www.mui.or.id/
0 komentar:
Posting Komentar