Pernikahan bukan hanya diperintahkan akan tetapi telah disyariatkan. Oleh karena tidaklah boleh pernikahan dilaksanakan dengan sembarangan. Keabsahan suatu pernikahan, dapat dilihat dari bagaimana pernikahan itu dilaksanakan. Apakah sudah memenuhi dan mengikuti tuntunan syariat (syariat Islam) ataukah belum. Jikalau pernikahan itu dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan dan ketetapan yang telah diatur dalam syariat maka syah lah pernikahan itu, dan bila sebaliknya maka tidaklah syah pernikahan itu.
Sudah menjadi kesepakatan ulam fiqh bahwa pernikahan akan dianggap syah apabila pernikahan itu dilaksanakan dengan memenuhi segala rukun dan syaratnya.
Rukun nikah yang harus dipenuhi itu adalah :
1. Calon suami
2. Calon isteri
3. Wali dari calon isteri
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan Kabul / Akad
Bila salah satu dari rukun nikah diatas ditinggalkan maka tidaklah sah pernikahan itu. Dan diantara 5 rukun nikah diatas, salah satu rukunnya adalah adanya wali dari pihak perempuan. Apabila rukun ini tidak terpenuhi bahkan diabaikan maka sia-sialah pernikahan itu.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :
Dari Aisyah Radhiyallahu anha bahwasanya Rasulullah r bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hibban)
Dan dalam hadis yang lain :
Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal” ( HR. Tirnidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah.)
Namun untuk bisa menjadi wali, seseorang harus memenuhi syarat standar minimal
yang juga telah disusun oleh para ulama, berdasarkan pada ayat Al-quran dan sunnah nabawiyah.
Syarat-syaratnya Wali adalah sebagaimana berikut :
1. Seorang Muslim / beragama Islam.
Apabila ayah kandung bukan seorang muslim ( non muslim) maka tidak berhak menikahkan / menjadi wali puterinya yang beragama Islam.
Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah (atheis). Ini adalah
pendapat jumhur ulama di antaranya Malik, Syafi’i, Abu Ubaid. Hal ini sebagaimana telah di jelaskan dalam firman Allah, yang artinya :
“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perrempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”( QS. At-Taubah : 71)
2. Berakal, maka seorang yang kurang waras, idiot atau gila tidak syah bila menjadi wali bagi anak gadisnya. (Imam Nawawi Al-Majmu’ sarh Al-Muhaddzab, Beirut Dar al-Fikr th. 1425 H/ 2005)
3. Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.
4. Merdeka, maka seorang budak tidak syah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meskipun ia beragama Islam, berakal, baligh. Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkannya, namun menurut
pendapat yang paling benar adalah ia tidak boleh menjadi wali.
5. Laki-laki, jadi seorang perempuan tidak berhak menjadi wali nikah.
Syarat-syarat diatas harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menjadi wali nikah. Apabila syarat2 tersebut telah terpenuhi, maka ia berhak menjadi wali nikah. Tapi apabila sebaliknya, maka ia tidak diperbolehkan menjadi wali nikah.
URUTAN WALI NIKAH
Dalam Kifayatul Akhyar, kitab fiqih yang jadi pegangan dalam mazhab Syafi’iyah, disebutkan bahwa urutan wali nikah adalah sebagai berikut:
1. Ayah kandung.
2. Ayah dari ayah / Kakek.
( Imam Nawawi Al-Majmu’ Sarh al-Muhaddzab juz 17, hal 312)
3. Saudara laki-laki seayah dan seibu / saudara kandung
4. Saudara laki-laki seayah.
5. Anak laki-laki dari saudara sekandung yang laki-laki.
6. Anak laki-laki dari saudara seayah.
7. Saudara laki-laki ayah / paman.
( Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushaini Kifayah al-Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtisar, Damaskus, Dar al-Khair th. 1994 M). Maktabah Syamilah)
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah / sepupu.
( Abdullah bin Qudamah Al- Maqdisi Al-Kafi fi Fiqhi Ibnu Hanbal. Maktabah Syamilah)
Seseorang berhak menjadi wali nikah berdasarkan urutan wali nikah diatas. Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Jika ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila sang ayah memberi izin kepada urutan yang setelahnya. Disamping itu seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, (Al-Majmu’ juz 17 hal 305)
Lalu bagaimana ketika semua wali yang telah disebutkan di atas tidak ada, maka siapakah yang berhak menjadi wali setelahnya?. Kondisi seperti ini terkadang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Bila seorang wanita tidak mempunyai wali, maka dia tetap bisa melaksanakan pernikahannya. Dan dia tetap tidak boleh menikah kecuali tanpa wali, apabila ia memaksakan diri untuk menikah tanpa wali, maka tidak sah lah pernikahan itu.
Jika semua urutan wali yang telah disebutkan di atas tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada hakim atau shultan, meskipun ia masih mempunyai saudara laki-laki seibu. Akan tetapi ia tidak bisa menjadi wali bagi saudara perempuannya yang seibu, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya :
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.”
(HR Abu Daud no 2083 dan dinilai shahih oleh al Albani)
Untuk negeri kita, sulthan /penguasa telah memberikan wewenang kepada Kepala KUA sebagai wali hakim di daerah otoritasnya (meliputi wilayah kecamatan tempat kepala KUA tersebut ditugaskan )
Baca juga artikel terkait : WALI HAIKIM DALAM TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA
0 komentar:
Posting Komentar