Akad pernikahan merupakan akad yang istimewa daripada akad-akad lainnya seperti jual-beli atau gadai. Akad nikah dianggap oleh ulama sebagai hal yang harus ditangani dengan hati-hati (aqd khatir) karena akan berimplikasi kepada anak dan hal-hal lain yang ditimbulkan karena pernikahan seperti hak warisan. Salah satu unsur yang paling utama dari akad nikah adalah wali nikah. Hanya wali nikah yang memiliki hak untuk menikahkan wanita yang berada dalam perwaliannya. Hak ini diberikan Islam kepada wali nikah, karena wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.
Perjanjian dalam perkawinan sangatlah berbeda dengan perjanjian-perjanjian yang lainnya.Yang membedakan perjanjian pernikahan dengan perjanjian yang lain adalah adanya syarat dan rukun-rukun yang harus dipenuhi. Dan diantara rukun-rukun nikah yang harus dipenuhi itu adalah adanya wali nikah dari calon istri.
Siapakah wali nikah itu ?
Wali nikah adalah orang yang mempunyai wewenang untuk mengawinkan perempuan yang berada dalam perwaliannya. Tanpa izin dan dilibatkannya walinya maka perkawinan perempuan tersebut dianggap tidak sah.
Banyak jenis wali yang dimunculkan para ulama, baik yang berhubungan dengan keturunan/nasab ataupun dengan sebab lainnya, antara lain: wali nasab, wali karena membeli hamba sahaya (wali milk), wali karena memerdekakan hamba sahaya (wali mu'tiq), wali karena wasiat (wali wusha), wali karena perjanjian tertentu (wali walayah), wali hakim, dan wali muhakkam.
Namun, yang disinggung dalam fiqh Indonesia hanya dua, yaitu : (1) wali nasab, (2) wali hakim,
SIAPAKAH WALI NASAB ITU ?
Wali nasab adalah pria beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam, mereka (wali) bukan dari garis keturunan (rahim) ibu (dzawil arham).
SIAPAKAH WALI HAKIM ITU ?
Sebelum kita bahas lebih lanjut uraian definitive dari wali hakim, mari kita perhatikan Hadits berikut :
Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
"Maka apabila (wali nasab) enggan sulthanlah yang menjadi wali bagi yang tidak mempunyai wali" (HR. Abu Daud, Tirmidzi,Ibnu Majah dan Ahmad dari Aisyah).
Penulis kitab Subulu as Salam berkata : "Yang dimaksud dengan sulthan adalah mereka yang mempunyai kekuasaan, baik ia zalim maupun adil karena hadits-hadits yang memerintahkan mentaati sulthan bersifat umum, mencakup sulthan yang adil maupun yang zalim" (Subulu as Salam III : 118).
Penulis ‘Ianatu al Thalibin mengatakan : "Imam Akbar (kepala negara) tidak mencegahnya menjadi wali karena kefasikannya, sesuai dengan pendapat yang sahih" (‘Ianatu al Thalibin III : 305).
Adapun penulis kitab An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sulthan disini ialah imam akbar (kepala negara) atau hakim atau siapa saja yang dilimpahkan wewenang oleh keduanya menjadi wali ketika tidak ada wali khusus/wali nasab.
(An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi: 508).
Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa wali hakim itu ialah pejabat tinggi Negara(kepala negara) atau pejabat yang ditunjuk untuk tugas itu dari kepala negara atau pejabat yang menerima pelimpahan tugas itu.
Dengan demikian wali hakim dinegara kita adalah presiden, kemudian presiden melimpahkan wewenangnya dalam masalah wali ini kepada Menteri Agama (karena menyangkut urusan agama) dan Menteri Agama melimpahkannya kepada aparatnya yang terbawah melalui tauliyah.
Hal ini senada dengan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam pasal 1 sub b yang menerangkan bahwa :
"Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan wewenang untuk bertindak sebagai wali nikah".
WALI HAKIM DI MASA RASULULLAH MUHAMMAD SHALALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM.
Sebelum kita bahas lebih lanjut, mari kita perhatikan bagaimana perihal wali hakim ini dimasa Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wasallam.
Setelah agama Islam berkembang di Mekkah, orang-orang Quraisy merasakan adanya ancaman terhadap kekuasaan mereka di Mekkah, karenanya mereka mulai melacarkan berbagai gangguan dan penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW dan memperhebat siksaan diluar perikemanusiaan terhadap umat Islam. Nabi SAW kemudian menyuruh umat Islam berhijrah ke Habsyah pada tahun kelima kenabian. Berangkatlah rombongan yang pertama yang terdiri dari sepuluh orang pria dan empat orang wanita, diantaranya Utsman bin Affan dengan istrinya Rukayyah (puteri Nabi), Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Ja’far bin Abu Thalib.
Rombongan yang kedua terdiri dari delapan puluh tiga pria dan tujuh belas wanita (Hayat Muhammad : 154). Dalam rombongan kedua ini, ikut serta Ubaidillah bin Jahasy dengan istrinya Ramlah binti Abi Sofyan.Setelah beberapa bulan di Habsyah, Ubaidillah bin Jahasy merubah agamanya menjadi pemeluk agama Nasrani, namun tidak berapa lama ia meninggal. Istrinya, Ramlah tinggal di Habsyah tanpa ada yang membiayai, maka Negus (raja) Habsyah yang sudah memeluk agama Islam mengirim surat kepada Rasulullah agar bersedia mengawini Ramlah dengan mahar sebesar 4000 dinar dan Rasulullah menerimanya. Yang bertindak sebagai wali nikah Ramlah adalah Negus Habsyah karena Ramlah tidak mempunyai wali nasab di Habsyah. Baru kemudian, pada tahun ketujuh hijriah,Surahbil bin Hasanah membawa Ramlah ke Medinah dan merubah namanya menjadi Ummu Habibah (Tarikhu al Islam al Siasi I: 90).
Abu Dawud dalam Sunnannya mengabadikan peristiwa ini dalam tiga buah riwayat yang diterimanya dari Ummu Habibah. Inilah wali hakim pertama dalam sejarah Islam yang terjadi di Habsyah. Peristiwa ini terjadi dalam perkawinan Rasulullah SAW sendiri dengan istrinya yang bernama Ummu Habibah, yang pada waktu itu menjadi salah seorang yang berhijrah ke Habsyah untuk menyelamatkan agamanya.
Dari hadits di atas diungkapkan bahwa wali hakim dapat tampil sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau wali nasab enggan mengawinkan perempuan yang berada dibawah perwaliannya. Lebih lanjut, penulis kitab An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi menulis bahwa sulthan hanya mengawinkan wanita balighah dikala tidak ada wali atau walinya enggan atau walinya berada di tempat lain atau apabila walinya sendiri yang ingin mengawininya seperti anak paman wanita itu atau bekas tuannya atau qadhi (An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 503).
Pada bagian lain, ia menulis bahwa sulthan mempunyai hak untuk mengawinkan apabila wali berada pada jarak jauh yang membolehkan sembahyang qashar atau apabila wali dalam keadaan berihram (.An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 504).
Sementara sebab2 berpindahnya wali nasab ke wali hakim menurut hukum positif yang berlaku dinegara kita, diatur sbb :
Dalam Pasal 2 ayat (1) PMA Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim disebutkan bahwa sebab-sebab perpindahan dari wali nasab ke wali hakim, antara lain:
1. Tidak mempunyai wali nasab yang berhak
2. Wali nasabnya tidak memenuhi syarat;
3. Wali nasabnya mafqud;
4. Wali nasabnya berhalangan hadir;
5. Wali nasabnya adhal.
Hal ini senada dengan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 23 ayat (1), hanya redaksinya yang sedikit berbeda, didalam KHI tersebut disebutkan :
"Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya atau tiak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan."
Adapun didalam “Pedoman Fiqh Munakahat “ dari Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji sebab-sebab wali hakim disebutkan lebih rinci lagi, yaitu :
1. Karena tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau
2. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya, atau
3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, atau
4. Wali berada di tempat jaraknya sejauh masafatul qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qasar) yaitu 92,5 km, atau
5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai, atau
6. Wali adhal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan, atau
7. Wali sedang melakukan ibadah haji/umrah. Maka yangberhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali.
Ada satu sebab lagi yang menyebabkan beralihnya wali dari nasab ke hakim. Sebab tersebut adalah anak hasil di luar nikah (anak tidak sah). Hal ini dikerenakan berdasarkan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempnyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Sementara itu dalam KHI pasal 100 lebih menegaskan lagi bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka wanita tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, karena barisan wali nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, maka perwaliannya berpindah kepada wali hakim.
Baca juga artikel terkait KEDUDUKAN WALI NIKAH DALAM SEBUAH PERNIKAHAN
Demikian sedikit bahasan seputar wali hakim, semoga bermanfaat...
0 komentar:
Posting Komentar